Surabi dan Bandrek: Menyantap Kuliner Jadul yang Melekat di Hati Bandung

Bandung, 2025 – Menyantap kuliner tradisional Bandung, rasanya tak lengkap tanpa mencicipi Surabi dan Bandrek. Dua sajian legendaris ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kuliner Bandung dan terus menarik perhatian para penikmatnya. Surabi, dengan tekstur lembut dan rasa khasnya, serta Bandrek yang hangat dan pedas, menjadi simbol kehangatan masa lalu yang tak terlupakan.

Surabi dan Bandrek bukan sekadar makanan; keduanya merupakan perjalanan rasa yang membawa kita bernostalgia ke era yang lebih sederhana. Ketika disantap, Surabi dengan santan hangatnya dan Bandrek dengan rasa pedas yang menggugah, menyentuh memori tentang tradisi yang selalu hidup di setiap gigitannya.

Warisan Kuliner yang Tak Pernah Pudar oleh Waktu

Kendati dunia kuliner modern berkembang pesat, Surabi dan Bandrek tetap bertahan dengan resep tradisional yang diwariskan turun-temurun. Tidak banyak yang tahu bahwa meski jumlah kedai yang menjual kuliner ini tidak sebanyak dahulu, Surabi dan Bandrek tetap eksis dan digemari. Salah satu tempat yang menyajikan kedua kuliner legendaris ini adalah Kedai Surabi SFS Family Group, yang berlokasi di kawasan kaki Gunung Manglayang.

Kedai ini menawarkan pengalaman kuliner yang unik dengan suasana yang kental dengan nuansa tradisional. Terletak di Jalan Cigagak Cipadung, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, kedai ini hadir dengan interior sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu. Desain tersebut membawa pengunjung pada kenangan masa lalu yang hangat. Keindahan panorama Kota Bandung yang terlihat dari kedai ini, ditambah dengan udara sejuk kaki Gunung Manglayang, semakin memperkaya pengalaman kuliner yang penuh nostalgia.

Menu Surabi yang Menggoda Selera

Di Kedai Surabi SFS Family Group, pengunjung dapat menikmati berbagai varian Surabi dengan pilihan rasa yang menggoda. Menu favorit di sini adalah Surabi Telur Oncom yang dipadukan dengan Bandrek hangat, namun masih banyak pilihan lainnya, seperti Surabi Oncom Coklat, Gula Aren, Keju Susu, hingga Surabi Telur Seblak. Harganya pun sangat terjangkau, mulai dari Rp 4.000 hingga Rp 8.000 per buah, menjadikannya pilihan yang pas untuk dinikmati kapan saja.

Selain Surabi, Bandrek yang disajikan di kedai ini memiliki cita rasa hangat yang sedikit pedas, membuatnya cocok dinikmati di pagi yang dingin atau malam hari. Menu minuman lainnya juga tersedia, seperti Jeruk Lemon Hangat, Kelapa Muda, Susu Jahe, hingga Kopi. Harga minuman di sini berkisar antara Rp 3.000 hingga Rp 6.000, sesuai dengan jenis dan ukuran minuman yang dipilih.

Proses Pembuatan yang Otentik dan Aroma yang Menggugah

Salah satu keistimewaan Surabi SFS Family Group adalah cara pembuatannya yang otentik. Surabi dibakar menggunakan arang kelapa dan kayu bakar, memberikan aroma khas yang sulit ditemukan di tempat lain. Proses pembakaran ini juga memberi cita rasa yang lebih hangat dan lezat, menambah kenikmatan setiap suapan Surabi yang disajikan secara dadakan.

Suasana yang Menggugah Nostalgia

Kedai Surabi SFS Family Group, yang didirikan pada tahun 2020 oleh Bapak Cahyana bersama keluarganya, memang menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh pencinta kuliner tradisional. Dikenal dengan suasananya yang tenang dan asri, tempat ini tidak hanya cocok untuk santap pagi, tetapi juga menjadi tempat yang menyenangkan untuk menikmati city light Kota Bandung pada malam hari.

Meskipun berada di pinggiran kota, kedai ini selalu ramai pengunjung, terutama pada akhir pekan. Banyak pengunjung yang datang setelah berolahraga, seperti jogging atau bersepeda, atau sekadar mencari tempat untuk menikmati kuliner khas Bandung.

Surabi SFS Family Group tidak hanya menawarkan makanan, tetapi juga pengalaman yang mengingatkan kita akan kekayaan kuliner tradisional yang terus hidup di tengah modernitas. Jika Anda berkunjung ke Bandung, jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati Surabi dan Bandrek legendaris yang selalu berhasil menghadirkan kenangan manis di setiap gigitannya.

Jalakotek Majalengka, Camilan Gurih yang Bikin Ketagihan

Jalakotek adalah camilan khas Majalengka yang memiliki cita rasa gurih, asin, dan pedas. Makanan ini dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung tapioka sebagai bahan utama. Di dalamnya terdapat isian yang terdiri dari tumisan tahu, ayam cincang, tauge, atau wortel yang dicampur dengan sambal, memberikan sensasi rasa yang kaya dan lezat. Setelah digoreng, jalakotek semakin nikmat dengan tambahan taburan bubuk cabai kering atau sambal yang membuatnya semakin menggugah selera, terutama jika disantap selagi hangat.

Kuliner ini cukup populer di kalangan masyarakat Majalengka, terutama anak muda dan pencinta kuliner. Majalengka sendiri merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara. Keberadaan jalakotek menambah kekayaan kuliner daerah tersebut dan menjadi salah satu makanan ringan favorit warga lokal.

Bagi yang ingin mencoba membuat jalakotek sendiri di rumah, langkah pertama adalah menyiapkan bahan-bahannya. Untuk kulitnya, diperlukan campuran tepung tapioka, tepung terigu, air panas, serta sedikit garam dan kaldu bubuk. Sedangkan isiannya dibuat dari tahu kuning yang dipotong kecil-kecil, wortel, bawang putih, cabai merah keriting, cabai rawit, serta bumbu pelengkap seperti garam, gula, dan merica.

Proses pembuatan jalakotek dimulai dengan menghaluskan bawang putih dan cabai sebagai bumbu isian. Tumis bumbu tersebut hingga harum, lalu masukkan wortel dan masak hingga empuk. Setelah itu, tambahkan tahu, aduk merata, dan beri bumbu sesuai selera. Untuk kulitnya, campurkan semua bahan dan uleni dengan air panas sedikit demi sedikit hingga kalis. Setelah adonan siap, bagi menjadi beberapa bagian dan pipihkan dengan rolling pin. Tambahkan satu sendok makan isian di tengah, lalu lipat dan rapatkan pinggirannya seperti pastel.

Setelah jalakotek siap dibentuk, panaskan minyak goreng dalam jumlah yang cukup. Goreng hingga warnanya berubah menjadi kuning kecoklatan, lalu angkat dan tiriskan. Agar semakin lezat, tambahkan taburan bubuk cabai kering atau sambal sesuai selera. Jalakotek siap disajikan dan dinikmati sebagai camilan lezat kapan saja.

Rahasia Kaledo Stereo Tetap Diminati, Cita Rasa Autentik Jadi Kunci

Wahyuni, pemilik Kaledo Stereo, mengungkapkan rahasia di balik kesuksesan usahanya dalam mempertahankan popularitas kuliner khas Palu. Menurutnya, menjaga cita rasa autentik adalah kunci utama agar tetap diminati oleh masyarakat. Kaledo sendiri merupakan hidangan berkuah seperti sup, tetapi berbeda dari kebanyakan sup lainnya karena tidak menggunakan santan. Sebagai gantinya, kuahnya dibuat dengan asam Jawa mentah yang menciptakan perpaduan rasa asam, gurih, dan pedas yang khas serta menggugah selera.

Proses memasak kaki sapi sebagai bahan utama Kaledo memerlukan waktu hingga empat jam untuk menghasilkan daging yang benar-benar empuk dan mudah disantap. Selain itu, sumsum yang terdapat dalam tulang kaki sapi menjadi salah satu daya tarik utama hidangan ini. Untuk menikmatinya, pelanggan dapat menggunakan sedotan yang disediakan agar bisa merasakan sensasi sumsum yang lembut dan kaya rasa. Kaledo biasanya disantap bersama nasi putih atau singkong rebus, tergantung selera masing-masing pelanggan.

Dengan porsi yang besar dan mengenyangkan, pelanggan hanya perlu membayar Rp70.000 untuk menikmati seporsi Kaledo yang lezat. Saat ini, Kaledo Stereo memiliki dua cabang yang berlokasi di Jalan Yos Sudarso dan Jalan Pue Bongo, Palu. Bahkan, Wahyuni tengah bersiap membuka cabang baru di kawasan pegunungan agar pelanggan bisa menikmati hidangan khas ini dengan suasana alam yang lebih sejuk dan berbeda. Keunikan cita rasa dan pengalaman kuliner yang ditawarkan menjadikan Kaledo Stereo sebagai salah satu tujuan favorit pencinta kuliner di Palu.

Lezatnya Kuliner Khas Curup Kereta, Daya Tarik Wisata di Way Kanan

Curup Kereta di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, merupakan destinasi wisata yang menawarkan pesona alam sekaligus kekayaan kuliner khas yang menggugah selera. Selain panorama air terjun yang memukau, kawasan ini dikenal dengan hidangan tradisional yang selalu menarik perhatian wisatawan, terutama pindang baung dan pindang patin. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Curup Kereta, Meza Jaya, mengungkapkan bahwa kedua hidangan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Namun, kuliner khas ini umumnya hanya tersedia saat kawasan wisata tengah ramai dikunjungi.

Pindang baung dan pindang patin disajikan bersama seruit, hidangan khas Lampung yang memberikan sensasi rasa pedas dan asam yang khas. Olahan ini menggunakan bumbu tradisional yang kaya rempah, menciptakan cita rasa yang begitu nikmat. Meza menuturkan bahwa keunikan rasa dari kuliner ini kerap membuat wisatawan ketagihan dan ingin kembali mencicipinya saat berkunjung ke Curup Kereta.

Keberadaan kuliner khas ini tidak hanya menambah daya tarik wisata, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkenalkan budaya kuliner Lampung kepada wisatawan. Meza berharap bahwa dengan terus mempromosikan makanan tradisional, jumlah kunjungan ke Curup Kereta dapat terus meningkat. Pindang baung dan pindang patin yang berpadu dengan seruit tidak hanya menyajikan cita rasa khas daerah, tetapi juga menghadirkan pengalaman wisata yang lebih berkesan. Dengan segala daya tariknya, Curup Kereta siap memberikan kepuasan bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam sekaligus mencicipi kuliner autentik.

Perut Punai: Camilan Manis Khas Bengkulu yang Unik dan Bikin Ketagihan

Bengkulu memiliki beragam kuliner tradisional yang memanjakan lidah, salah satunya adalah Perut Punai. Meski namanya terdengar unik, makanan ini sama sekali tidak menggunakan daging burung punai. Perut Punai merupakan camilan berbahan dasar ketan yang memiliki rasa manis dengan tekstur kenyal, sehingga banyak digemari oleh masyarakat setempat. Hidangan ini kerap disajikan dalam berbagai acara adat dan perayaan keluarga di Bengkulu.

Nama Perut Punai diambil dari bentuk kuenya yang menyerupai perut burung punai—bulat lonjong dan lembut di bagian dalam. Kuliner ini telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Bengkulu sejak zaman dahulu dan terus dilestarikan secara turun-temurun. Selain menjadi sajian wajib dalam acara seperti pernikahan dan kenduri, kue ini juga sering disantap sebagai camilan saat bersantai bersama keluarga.

Bahan utama untuk membuat Perut Punai sangat sederhana dan mudah ditemukan, antara lain beras ketan, santan, gula merah, kelapa parut, serta daun pandan. Proses pembuatannya dimulai dengan mencuci bersih beras ketan, lalu merendamnya selama beberapa jam agar teksturnya menjadi lebih lembut. Setelah itu, ketan dikukus hingga matang dan dicampur dengan santan serta sedikit garam untuk memberikan rasa gurih.

Sementara itu, isian dibuat dari gula merah yang dicairkan dan dicampur dengan kelapa parut. Campuran ini dimasak hingga mengental dan mengeluarkan aroma harum yang khas. Selanjutnya, adonan ketan yang telah matang diambil secukupnya, diisi dengan campuran gula merah dan kelapa, kemudian dibentuk lonjong menyerupai perut burung punai. Adonan yang sudah dibentuk dibungkus menggunakan daun pisang agar tetap lembut dan memiliki aroma khas. Terakhir, Perut Punai dikukus kembali atau dipanggang sebentar untuk memberikan cita rasa yang lebih lezat dan daya tahan yang lebih lama.

Saat ini, Perut Punai masih bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional Bengkulu. Popularitasnya pun semakin meningkat seiring dengan upaya pemerintah daerah dan para pelaku usaha kecil menengah (UKM) dalam mempromosikan kuliner khas ini melalui berbagai festival makanan dan promosi pariwisata. Bahkan, beberapa pengusaha telah mengemas Perut Punai dengan tampilan yang lebih modern agar menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.

Dengan rasa manis yang khas, tekstur lembut, dan keunikan bentuknya, Perut Punai berhasil memikat hati banyak orang. Diharapkan, kuliner tradisional ini dapat terus dilestarikan dan semakin dikenal luas sebagai salah satu ikon kuliner Bengkulu yang membanggakan.

Diplomasi Kuliner Jepang: Osechi Ryori Jadi Jembatan Hubungan dengan ASEAN

Kuliner tidak sekadar urusan makanan, tetapi juga bisa menjadi alat diplomasi yang mempererat hubungan antarnegara. Salah satu strategi ini diterapkan oleh Misi Diplomatik Jepang untuk ASEAN, yang memanfaatkan gastronomi sebagai media untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.

Duta Besar Jepang untuk ASEAN, Kiya Masahiko, mengungkapkan bahwa kuliner Jepang memiliki keanekaragaman yang sama seperti Indonesia. “Jepang tidak hanya tentang sushi. Dari Hokkaido hingga Okinawa, setiap daerah memiliki kuliner khasnya sendiri. Saat ini, semakin banyak wisatawan kembali ke Jepang untuk menikmati pengalaman kuliner yang lebih mendalam,” ujarnya dalam acara Experience Japanese Food Culture: Osechi Ryori, yang digelar di Sekretariat ASEAN pada Jumat (14/2/2025).

Sebagai bagian dari diplomasi kuliner, acara ini menampilkan osechi ryori, hidangan tradisional khas Jepang yang biasanya disajikan saat perayaan Tahun Baru dalam tujuh hari pertama Januari. Dubes Kiya berharap kuliner ini dapat membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan kemakmuran bagi ASEAN dan Jepang.

Kuliner sebagai Alat Pemersatu Budaya
Dalam kesempatan tersebut, Dubes Kiya menekankan bahwa makanan berperan penting dalam membangun pemahaman lintas budaya. Ia sering mengundang tamu dari negara-negara ASEAN untuk mencicipi makanan Jepang, sekaligus menikmati kuliner lokal dari berbagai negara yang ia kunjungi.

“Makanan memiliki kekuatan unik untuk menyatukan orang-orang tanpa perlu komunikasi verbal. Lewat kuliner, kita berbagi kisah, memahami tradisi, dan menunjukkan rasa saling menghormati,” ujarnya.

Dubes Kiya juga menyebut bahwa masyarakat Jepang mulai mengenal dan mengapresiasi kuliner ASEAN, termasuk dari Indonesia. Pertukaran budaya ini semakin meningkat melalui wisata kuliner dan acara resmi yang memperkenalkan hidangan khas dari masing-masing negara.

“Saya berharap akan ada lebih banyak pertukaran budaya di kedua arah. Dengan begitu, semakin banyak orang Jepang tertarik dengan kuliner ASEAN, begitu pula sebaliknya,” tambahnya.

Osechi Ryori: Tradisi yang Sarat Makna
Menurut Dubes Kiya, tradisi menikmati osechi ryori berawal dari keinginan memberikan waktu istirahat kepada ibu rumah tangga yang sehari-hari memasak untuk keluarga. Hidangan ini disiapkan lebih awal agar bisa dikonsumsi selama beberapa hari tanpa perlu memasak ulang.

Setiap makanan dalam osechi ryori memiliki makna simbolis, baik dari bahan maupun cara memasaknya. Umumnya, setiap elemen melambangkan keberuntungan, kesehatan, atau kemakmuran. Oleh sebab itu, masyarakat Jepang menyantap hidangan ini sambil berdoa untuk tahun yang penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.

“Osechi bukan sekadar makanan, tetapi juga mencerminkan semangat, harapan, dan doa untuk tahun yang akan datang. Setiap hidangan dalam tradisi ini memiliki kisah dan nilai budaya yang mendalam,” jelasnya.

Bagi masyarakat Indonesia yang ingin mengenal budaya Jepang lebih dalam, menikmati osechi ryori saat Tahun Baru bisa menjadi pengalaman yang berharga. “Jika Anda berkunjung ke Jepang di akhir tahun, saya sangat merekomendasikan untuk mencicipi hidangan ini agar merasakan atmosfer tradisi Jepang secara langsung,” tambahnya.

Tantangan dalam Diplomasi Gastronomi
Japan-ASEAN Goodwill Ambassador for Food & Agriculture, Melody Laksani, mengungkapkan bahwa keberagaman kuliner dari Jepang dan Indonesia menghadirkan tantangan tersendiri dalam diplomasi gastronomi.

“Baik Indonesia maupun Jepang memiliki kekayaan kuliner yang sangat luas. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi lebih dalam agar masyarakat dari kedua negara semakin mengenal dan mengapresiasi kekayaan kuliner satu sama lain,” kata Melody dalam acara tersebut.

Ia juga menekankan pentingnya adaptasi rasa agar makanan Indonesia lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang.

“Makanan Indonesia dikenal dengan rasa yang kuat dan kaya akan rempah, sementara kuliner Jepang cenderung lebih ringan dan sehat. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat sangat diperlukan agar kuliner Indonesia bisa lebih dikenal di Jepang,” jelasnya.

Perayaan Budaya ASEAN dalam Diplomasi Kuliner
Selain memperkenalkan budaya Jepang melalui osechi ryori, acara ini juga menjadi ajang bagi negara-negara ASEAN untuk menampilkan kuliner khas mereka. Hal ini semakin mempererat hubungan antarnegara serta meningkatkan pemahaman lintas budaya di kawasan ASEAN.

Acara ini tidak sekadar soal menikmati makanan lezat, tetapi juga menjadi simbol kolaborasi erat antara Jepang dan ASEAN. “Ini bukan hanya sekadar pertemuan budaya, tetapi juga cara kita saling menghargai nilai-nilai tradisional dan keberagaman,” tegas Dubes Kiya.

Es Dawet Aren Bu Ida: Sensasi Kuliner Khas Ngawi yang Menyegarkan dan Memanjakan Mata

Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dikenal tidak hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kuliner tradisional yang kaya cita rasa. Salah satu yang paling menggugah selera adalah es dawet, dan kini ada satu nama yang menjadi primadona: Es Dawet Aren Bu Ida. Terletak di Jalan Paron-Jogorogo, tepatnya di pinggir sawah dekat SPBU Paron, tempat ini menjadi destinasi wajib bagi warga lokal dan wisatawan yang sedang melintas.

Es Dawet Bu Ida menawarkan kelezatan yang khas dengan bahan dasar aren yang memberikan rasa manis alami yang pas di lidah. Dibandingkan dengan es dawet lainnya di Ngawi, es dawet ini memiliki ciri khas yang membedakannya, yaitu penggunaan aren yang membuat rasanya lebih segar dan alami. Dengan harga yang terjangkau, yakni Rp 8 ribu per porsi, pengunjung bisa menikmati sensasi es dawet yang menyegarkan sembari menikmati suasana sejuk di sekitar persawahan yang tenang.

“Es dawet ini sangat cocok untuk siapa pun yang melintas di daerah Paron. Tempatnya nyaman dan ideal untuk beristirahat setelah perjalanan jauh,” ujar Anto, salah satu pengendara yang rutin singgah di sana. Selain rasa yang menyegarkan, tempat ini juga menawarkan kenyamanan bagi pengendara yang ingin beristirahat sejenak sambil menikmati hidangan khas Bu Ida.

Perjalanan Bu Ida dalam dunia kuliner dimulai dengan resep es dawet jagung dari Ponorogo. Seiring berjalannya waktu, ia mengembangkan resepnya dan kini menghasilkan es dawet aren yang segar dan nikmat. “Kami belajar membuat es dawet dari teman, lalu perlahan mengembangkan dan mempercantik sajian agar semakin menarik,” ujar Bu Ida, penuh kebanggaan.

Selain rasa, Bu Ida juga sangat menjaga agar tampilan es dawetnya tetap menggoda dan menarik perhatian para pengunjung. Setiap sajian es dawet disajikan dengan rapi, menjadikannya tidak hanya lezat untuk dinikmati, tetapi juga memanjakan mata. Jadi, jika Anda sedang berada di Jalan Paron-Jogorogo Kabupaten Ngawi, jangan lewatkan kesempatan untuk singgah dan merasakan kenikmatan es dawet aren khas Bu Ida.

Docang Cirebon: Kuliner Tradisional Gurih Segar yang Wajib Dicoba Selama Libur Nataru

Jakarta – Docang, kuliner tradisional Cirebon yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Cirebon, tetap menjadi salah satu hidangan yang tak terlupakan. Dengan cita rasa yang khas dan nilai sejarah yang mendalam, docang tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga membawa kita dalam perjalanan budaya yang kaya. Nama “docang” sendiri berasal dari kata “dodon” yang berarti lontong dan kacang, mencerminkan kombinasi bahan sederhana namun penuh makna.

Docang terdiri dari lontong, daun singkong, tauge, parutan kelapa, kerupuk, dan kuah oncom yang menjadi ciri khasnya. Meskipun bahan-bahannya terlihat sederhana, perpaduan rasa gurih, segar, dan sedikit pedas dari kuah oncom menjadikan hidangan ini begitu istimewa. Kuah oncom terbuat dari campuran bumbu seperti bawang putih, kencur, daun bawang, dan rempah-rempah lainnya yang direbus hingga rasa dan aroma bumbunya meresap dengan sempurna.

Docang biasanya disajikan sebagai sarapan, terutama karena sifatnya yang mengenyangkan tetapi tetap ringan di perut. Hidangan ini juga mengandung banyak serat dari sayuran dan energi dari lontong serta kelapa parut, menjadikannya pilihan sarapan yang sehat.

Seiring berjalannya waktu, docang tidak hanya sekadar hidangan lezat, tetapi juga merupakan simbol kebersamaan. Masyarakat Cirebon sering menikmatinya bersama keluarga atau tetangga dalam suasana yang penuh keakraban. Proses penyajiannya pun menjadi bagian dari tradisi, terutama dalam pembuatan kuah oncom yang memerlukan ketelitian dan kesabaran.

Menurut sejarah, docang telah menjadi bagian dari budaya Cirebon sejak masa Kesultanan Cirebon dan sering disajikan pada acara-acara adat atau perayaan tertentu. Hingga kini, docang masih bisa ditemukan di berbagai penjuru kota Cirebon, dengan beberapa penjual yang mewarisi resep turun-temurun dan menjaga keaslian rasa docang.

Keunikan docang juga terletak pada cara penyajiannya. Setelah kuah oncom selesai dimasak, kuah tersebut disiramkan di atas lontong dan sayuran segar. Kerupuk renyah kemudian ditambahkan sebagai pelengkap, memberikan tekstur yang kontras dengan kelembutan lontong dan sayuran. Perpaduan rasa gurih dari kuah, segarnya sayuran, dan renyahnya kerupuk menciptakan sensasi rasa yang memanjakan lidah.

Di tengah kemajuan zaman dan munculnya berbagai makanan modern, docang tetap bertahan sebagai bagian dari warisan kuliner yang dicintai masyarakat Cirebon. Bahkan, tak jarang wisatawan sengaja datang ke Cirebon hanya untuk menikmati kelezatan hidangan ini. Dengan cita rasa yang autentik dan sejarah panjang yang menyertainya, docang terus menjadi salah satu kuliner yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Bagi siapa pun yang ingin merasakan kuliner Cirebon yang sesungguhnya, docang adalah pilihan yang tepat. Selain menawarkan kenikmatan rasa, hidangan ini juga memberikan gambaran tentang kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Cirebon yang selalu menjaga warisan leluhur mereka.

Mie Aceh Kuliner Tradisional Yang Kembali Bersinar Di Tengah Tren Kuliner Modern

Pada 9 Oktober 2024, Mie Aceh, salah satu hidangan tradisional Indonesia, kembali mendapatkan perhatian di tengah maraknya tren kuliner modern. Dengan rasa yang khas dan bahan-bahan berkualitas, mie ini semakin populer di kalangan generasi muda dan menjadi salah satu pilihan favorit di berbagai restoran dan kafe.

Mie Aceh dikenal dengan cita rasa yang pedas dan gurih, serta tekstur mie yang kenyal. Hidangan ini biasanya disajikan dengan berbagai pilihan protein, seperti daging sapi, udang, atau ayam, serta pelengkap seperti telur dan sayuran segar. Penyajian yang menarik, ditambah dengan bumbu yang kaya, menjadikan Mie Aceh semakin diminati oleh para penggemar kuliner.

Peningkatan popularitas Mie Aceh juga dipengaruhi oleh media sosial. Banyak food influencer dan penggiat kuliner yang mengunggah pengalaman mereka menikmati mie ini, membuatnya semakin viral. Foto-foto yang menarik dan video tutorial cara memasak Mie Aceh telah menyebar luas, menarik perhatian banyak orang untuk mencoba atau memasak hidangan ini di rumah.

Berbagai restoran dan kafe mulai memasukkan Mie Aceh ke dalam menu mereka, menjadikannya sebagai salah satu daya tarik utama. Beberapa tempat bahkan menyajikan variasi unik, seperti Mie Aceh goreng dengan tambahan bahan lokal. Inovasi ini berhasil menarik perhatian pengunjung yang ingin merasakan perpaduan antara tradisi dan modernitas.

Dengan kembali bersinarnya Mie Aceh di dunia kuliner, hidangan tradisional ini menunjukkan bahwa kuliner lokal masih memiliki tempat di hati masyarakat meskipun di tengah perkembangan kuliner modern. Kualitas rasa dan inovasi yang ditawarkan akan terus membuat Mie Aceh menjadi salah satu pilihan favorit di restoran dan kafe, melestarikan warisan kuliner Indonesia.