Café Gedong Ijen: Menyatu dengan Sejarah dalam Nuansa Hangat dan Modern

Malang kini memiliki destinasi kuliner baru yang unik, yaitu Café Gedong Ijen, yang menggabungkan sentuhan sejarah kolonial Belanda dengan atmosfer yang nyaman dan homey. Berlokasi di Jalan Terusan Ijen 2B, Bareng, kafe ini menawarkan pengalaman berbeda dengan konsep yang tidak biasa. Keunikan utama Café Gedong Ijen terletak pada lokasinya yang berada di dalam bunker peninggalan zaman kolonial. Bunker yang dahulu tampak menyeramkan kini telah disulap menjadi ruang yang aesthetic dengan desain interior modern tanpa menghilangkan elemen sejarahnya, menciptakan suasana yang hangat dan menawan.

Kafe ini menyajikan berbagai pilihan menu yang menggabungkan cita rasa lokal dan internasional dengan harga yang terjangkau, mulai dari Rp17.000. Beberapa hidangan favorit pengunjung antara lain Nasi Goreng Gedong Ijen dengan bumbu khas, Chicken Piccata yang disajikan dengan saus lemon dan caper, serta Steak Diane dengan saus krim yang menggugah selera. Untuk pencinta pasta, tersedia Seafood Aglio Olio dengan paduan seafood segar, sedangkan Nasi Tongkol Pedas cocok bagi yang menginginkan sensasi rasa yang lebih kuat. Sebagai pelengkap, Mocca Nougat Cake hadir dengan tekstur lembut dan taburan nougat yang renyah sebagai pilihan pencuci mulut.

Selain hidangan yang menggoda, Café Gedong Ijen juga menyediakan fasilitas pendukung seperti Wi-Fi berkecepatan tinggi serta banyak colokan listrik di setiap meja, menjadikannya tempat ideal untuk bekerja atau mengerjakan tugas. Dengan kombinasi sejarah, desain yang menarik, makanan lezat, serta fasilitas yang menunjang kenyamanan, kafe ini layak menjadi destinasi kuliner favorit di Malang. Jangan lewatkan kesempatan untuk berkunjung dan merasakan pengalaman unik yang ditawarkannya.

Sushi Salmon Bukan Tradisi Jepang, Ternyata Dipopulerkan oleh Negara Ini

Kebiasaan mengonsumsi ikan salmon mentah sering kali dikaitkan dengan budaya Jepang. Namun, ternyata tradisi ini bukan berasal dari Jepang, melainkan dipengaruhi oleh negara lain melalui proses invasi budaya.

Banyak makanan yang dianggap sebagai simbol atau ciri khas suatu negara atau wilayah, terutama yang memiliki karakter unik dan jarang ditemukan di tempat lain secara tradisional. Salah satunya adalah sushi, yang dikenal dengan cara penyajiannya menggunakan ikan mentah. Namun, di balik kesegaran sushi, ada cerita menarik yang perlu diketahui, seperti yang diungkapkan oleh Fjord Tours.

Meskipun sushi terkenal sebagai makanan khas Jepang, sebenarnya makanan ini bukanlah asli Jepang. Dalam sejarahnya, ada pengaruh besar dari Norwegia yang mempengaruhi perubahan budaya kuliner Jepang.

Pada awal tahun 1990-an, Norwegia mengalami surplus salmon, sementara di Jepang, konsumsi ikan mentah belum populer karena kekhawatiran terhadap potensi parasit dan bakteri yang ada pada ikan. Namun, Norwegia berhasil mengembangkan teknologi pembudidayaan ikan sehingga dapat menyediakan salmon yang aman untuk dikonsumsi mentah. Di saat yang sama, Jepang mengalami kelangkaan ikan karena aturan penangkapan ikan yang belum ketat.

Pada tahun 1985, Menteri Perikanan Norwegia mengunjungi Tokyo dan menjalin kerja sama dengan Jepang untuk memasok ikan segar, khususnya salmon. Salah satu syarat dari kerja sama tersebut adalah salmon yang diimpor harus diperkenalkan untuk dikonsumsi mentah, dimulai dari restoran-restoran mewah yang menargetkan kalangan atas.

Seiring waktu, salmon Atlantik dari Norwegia terbukti bebas dari parasit yang berbahaya, berbeda dengan salmon dari Laut Pasifik. Akhirnya, salmon menjadi populer sebagai bahan sushi, baik sebagai nigiri maupun sashimi. Tekstur daging salmon Norwegia yang lebih lembut dan kandungan lemaknya yang lebih tinggi membuatnya lebih juicy dan disukai banyak orang. Ini menunjukkan bagaimana Project Japan berhasil membawa pengaruh besar dalam budaya konsumsi ikan mentah di Jepang, meskipun banyak yang tidak menyadari bahwa kebiasaan ini berasal dari Norwegia.

7 Angkringan Legendaris dan Populer di Solo yang Wajib Dikunjungi, Murah dan Mengenyangkan!

Di Solo, kamu bisa menikmati berbagai minuman hangat sambil menikmati nasi kucing dan berbagai lauk di angkringan. Beberapa di antaranya sangat legendaris karena telah beroperasi selama puluhan tahun. Berikut adalah rekomendasi angkringan yang wajib dicoba!

Angkringan banyak ditemukan di Jogja dan Solo. Di Solo, angkringan juga dikenal dengan sebutan wedangan atau Hidangan Istimewa Kampung (HIK). Biasanya, konsep yang dihadirkan sangat sederhana, seperti menggunakan gerobak atau tenda.

Namun, saat ini angkringan dengan konsep modern yang lebih nyaman juga mulai banyak bermunculan. Menu yang disajikan tetap serupa, seperti berbagai wedang (minuman hangat) dan hidangan tradisional, seperti nasi kucing, gorengan, dan berbagai sate.

Jika kamu sedang berada di Solo, jangan lewatkan pengalaman menikmati angkringan. Berikut adalah 7 angkringan legendaris dan populer yang bisa kamu kunjungi:

  1. Wedang Dongo Pak Untung Angkringan ini sudah ada sejak 1955 dan berlokasi di Jalan Gotong Royong Nomor 107. Buka setiap hari dari pukul 15.00 hingga 22.00. Di sini, kamu bisa menikmati berbagai jenis wedang, seperti wedang dongo, kacang putih, sekoteng, hingga beras kencur. Harga setiap mangkuknya sekitar Rp 10 ribuan.
  2. Wedangan Radjiman Plus Terletak di Jalan Dr. Rajiman Nomor 554, Wedangan Radjiman Plus buka setiap hari dari pukul 16.00 hingga 00.00. Menu yang ditawarkan meliputi wedang jahe, wedang uwuh, hingga tape cokelat, dengan harga mulai dari Rp 7.500. Untuk camilan, tersedia tempe mendoan, tahu cabe garam, dan roti bakar.
  3. Wedangan Mbah Wiryo Sejak 1958, Wedangan Mbah Wiryo telah menjadi tempat yang legendaris di Solo. Lokasinya di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 25 dan buka dari pukul 16.00 hingga 00.30. Menu andalan di sini adalah wedang jahe dengan berbagai variasi rasa, serta makanan tradisional seperti nasi bandeng dan aneka sate.
  4. Wedangan Pendhopo Terkenal sebagai tempat favorit Presiden Joko Widodo, Wedangan Pendhopo terletak di Jalan Srigading I Nomor 20 dan buka dari pukul 15.00 hingga 22.00. Di sini, kamu bisa menikmati wedang jahe, kopi jos, dan teh kampul dengan harga mulai dari Rp 3 ribu. Untuk makanannya, ada nasi bandeng dan garang asem yang sangat lezat.
  5. Wedangan Basuki Sondakan Dikenal sejak 2008, Wedangan Basuki Sondakan terletak di Jalan Agus Salim Nomor 17, Sondakan. Tempat ini buka dari pukul 17.00 hingga 01.00. Salah satu minuman andalannya adalah susu jahe dengan rasa yang unik. Menu makanannya seperti nasi kucing dengan sate kikil, telur puyuh, dan kulit ayam juga sangat populer.
  6. Wedangan Nala Gareng Wedangan Nala Gareng, yang terkenal di media sosial, berada di Jalan Basuki Rahmat Nomor 6 dan buka dari pukul 16.30 hingga 00.00. Menu yang ditawarkan termasuk jahe gula aren, teh krampul sereh, dan berbagai pilihan sate seperti sate kikil dan sate paru, dengan harga mulai dari Rp 5 ribu.
  7. Wedangan Mantap Wedangan Mantap terletak di Jalan Sugiyopranoto Nomor 12, buka dari pukul 07.00-12.30 dan 16.00-22.30. Menunya cukup beragam, mulai dari teh krampul, kopi susu, hingga martabak dan tahu bakso. Harga minumannya mulai dari Rp 5 ribu, sementara menu utama seperti soto ayam dan kare ayam juga tersedia.

Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan nikmatnya kuliner angkringan yang legendaris di Solo!

Ayam Taliwang: Warisan Kuliner Lombok dari Diplomasi Kerajaan

Ayam Taliwang, hidangan khas Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki sejarah panjang yang berakar pada peristiwa antara Kerajaan Selaparang dan Kerajaan Karangasem. Pada tahun 1630, pasukan dari Kerajaan Taliwang dikirim ke Lombok untuk membantu Selaparang dalam konflik melawan Karangasem. Para prajurit ini membawa serta juru masak mereka, yang bertugas menyiapkan makanan bagi para pemimpin perang. Mereka kemudian menetap di daerah yang kini dikenal sebagai Karang Taliwang. Demi menciptakan perdamaian, juru masak tersebut menyajikan ayam bakar berbumbu khas kepada Raja Karangasem. Hidangan ini menjadi simbol diplomasi yang membantu meredakan ketegangan antara kedua kerajaan.

Dikutip dari THE SAGES JOURNAL: Culinary Science and Business (2023), ayam taliwang memiliki ciri khas berupa ayam kampung muda yang dibakar utuh dengan bumbu pedas kaya rempah. Proses memasaknya menggunakan cabai merah kering, bawang merah, bawang putih, tomat, terasi goreng, serta kencur, menghasilkan cita rasa pedas autentik. Biasanya, ayam taliwang disajikan dengan nasi putih hangat dan plecing kangkung, menciptakan kombinasi rasa pedas, gurih, dan segar.

Hidangan ini mulai dikenal luas di Lombok pada tahun 1960-an, salah satunya berkat Nini Manawiyah, yang menjual nasi ayam di rumahnya di Karang Taliwang. Popularitasnya terus meningkat hingga tahun 1980-an, ketika banyak restoran mulai memasukkan ayam taliwang ke dalam menu mereka. Kini, hidangan ini tidak hanya menjadi ikon kuliner Lombok, tetapi juga dikenal luas di berbagai kota besar Indonesia. Sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat Sasak, ayam taliwang terus dijaga keberadaannya dan tetap menjadi kebanggaan kuliner Nusantara.

Nasi Ulam: Warisan Kuliner dengan Cita Rasa dan Sejarah Panjang

Nasi ulam adalah salah satu hidangan khas yang mencerminkan kekayaan budaya kuliner Nusantara. Hidangan ini memiliki sejarah panjang yang berasal dari tradisi kuliner Melayu dan Tionghoa peranakan, serta berkembang di berbagai wilayah seperti Indonesia dan Malaysia. Berbeda dengan nasi uduk yang dimasak dengan santan, nasi ulam diolah dengan campuran rempah seperti serai, lengkuas, jahe, dan daun salam untuk menghasilkan aroma harum serta rasa gurih yang khas. Hidangan ini dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan lama di Sumatera dan Semenanjung Malaya, di mana masyarakatnya memanfaatkan rempah dan dedaunan segar untuk meningkatkan cita rasa serta manfaat kesehatan dalam makanan sehari-hari.

Di Indonesia, nasi ulam berkembang di berbagai daerah, terutama dalam kuliner suku Betawi dan Melayu Sumatera, bahkan juga ditemukan di Bali. Nasi ulam Betawi memiliki dua jenis varian, yakni nasi ulam berkuah yang umum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, serta nasi ulam kering yang lebih sering ditemukan di Jakarta Selatan. Nasi ulam berkuah biasanya disajikan dengan siraman kuah semur tahu atau kentang, sementara versi keringnya tetap memiliki rasa gurih tanpa tambahan kuah. Kedua varian ini sama-sama disajikan dengan berbagai pelengkap seperti bubuk kacang tanah, bihun, serundeng, kemangi, emping, serta lauk seperti telur, tahu, tempe, dan perkedel.

Keberadaan nasi ulam hingga saat ini membuktikan bahwa kuliner tradisional mampu bertahan dan berkembang seiring waktu. Hidangan ini bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol perpaduan budaya serta kearifan lokal dalam mengolah bahan-bahan alami yang tersedia. Dengan cita rasa yang khas dan sejarah yang kaya, nasi ulam terus menjadi bagian penting dari warisan kuliner Nusantara yang patut dilestarikan.

Mie Bangladesh: Perpaduan Rasa dan Sejarah yang Menggugah Selera

Mie adalah hidangan yang memiliki popularitas global, termasuk di Bangladesh, yang memiliki sejarah panjang dan cita rasa khas. Meski tidak seterkenal biryani atau dal, mie Bangladesh merupakan hasil akulturasi budaya yang membawa pengaruh dari berbagai negara, terutama Tiongkok dan Asia Tenggara. Sejarah mie di negara ini bermula dari para pedagang Tiongkok yang memperkenalkan tradisi kuliner berbasis mie ke kawasan Asia Selatan melalui jalur perdagangan. Dalam perjalanannya, masyarakat Bangladesh mengadaptasi hidangan ini dengan menambahkan rempah-rempah khas mereka, menciptakan rasa yang lebih kaya dan kuat.

Seiring berjalannya waktu, mie semakin menjadi bagian dari menu harian, terutama di daerah perkotaan seperti Dhaka dan Chittagong. Berbeda dari mie Tiongkok yang memiliki rasa ringan atau mie Jepang yang kaya umami, mie Bangladesh dikenal dengan cita rasa yang gurih, pedas, dan sedikit asam. Hidangan ini mengandalkan bumbu seperti bawang merah, bawang putih, jahe, cabai, kunyit, dan garam masala untuk memberikan rasa yang khas. Salah satu varian mie yang paling populer adalah Chow Mein Bengali, yang meskipun berasal dari Tiongkok, telah diadaptasi dengan tambahan cabai hijau, kecap asin, serta berbagai rempah khas Bangladesh. Hidangan ini sering disajikan dengan ayam, daging sapi, atau udang, lengkap dengan sayuran seperti kol, wortel, dan paprika.

Selain itu, terdapat juga varian Spicy Egg Noodles yang menawarkan sensasi pedas dengan telur orak-arik dan saus khas Bangladesh. Perpaduan unik dari rempah-rempah dan teknik memasak tradisional menjadikan mie Bangladesh sebagai bukti nyata dari percampuran budaya yang menghasilkan hidangan lezat dan menggugah selera. Dengan karakteristiknya yang khas, mie Bangladesh menjadi pilihan menarik bagi para pencinta kuliner yang ingin merasakan sensasi rasa yang berbeda.

Soto Tangkar: Warisan Kuliner Betawi dari Masa Kolonial

Soto tangkar merupakan salah satu kuliner khas Betawi yang lahir dari kreativitas masyarakat dalam mengolah iga sapi menjadi hidangan berkuah yang kaya rasa. Berbeda dengan soto lainnya yang umumnya memiliki kuah bening atau kuning, soto tangkar menggunakan santan, tetapi tetap memiliki cita rasa ringan dan tidak terlalu kental. Sejarah soto tangkar berakar dari masa penjajahan Belanda, ketika para meneer mengadakan pesta dan memotong sapi untuk hidangan mereka. Bagian utama daging sapi dikonsumsi oleh kaum kolonial, sementara bagian kepala, iga, dan jeroan diberikan kepada para pekerja. Dengan keterbatasan bahan, masyarakat Betawi mengolah iga sapi tersebut menjadi hidangan berkuah yang lezat dengan menambahkan berbagai bumbu seperti lada, kunyit, serai, daun salam, dan santan.

Dalam bahasa Betawi, “tangkar” berarti iga sapi, yang menjadi bahan utama dalam hidangan ini. Pada masa itu, masyarakat setempat hanya mampu membeli bagian iga yang mengandung sedikit daging, karena potongan daging lainnya sudah diambil oleh Belanda. Namun, mereka mampu mengolahnya menjadi hidangan bercita rasa khas yang kemudian dikenal sebagai soto tangkar. Seiring waktu, soto tangkar tidak lagi dianggap sebagai makanan rakyat kecil, tetapi berkembang menjadi kuliner khas yang diminati oleh berbagai kalangan.

Kini, soto tangkar tetap menjadi salah satu hidangan ikonik Betawi yang mudah ditemukan di berbagai rumah makan maupun festival kuliner Nusantara. Keunikan rasa dan sejarah panjangnya membuat hidangan ini tetap lestari dan terus dinikmati oleh masyarakat dari berbagai generasi. Dari makanan sederhana pada masa kolonial, soto tangkar kini menjadi bagian penting dari warisan kuliner Indonesia.

Wingko Babat: Kue Tradisional yang Melegenda dari Lamongan

Wingko Babat merupakan kue tradisional berbentuk bundar yang terbuat dari tepung beras ketan, kelapa, dan gula. Banyak yang mengira kudapan ini berasal dari Semarang, namun sebenarnya asal-usulnya dari Babat, sebuah kota kecil di Lamongan, Jawa Timur. Kota ini menjadi titik persimpangan antara Kabupaten Bojonegoro, Jombang, dan Tuban, yang membuatnya strategis bagi para pedagang.

Wingko Babat pertama kali diciptakan oleh pasangan perantau keturunan Tionghoa, Loe Soe Siang dan istrinya, yang telah bermukim di Babat sejak tahun 1898. Pasangan ini memiliki dua anak, yaitu Loe Lang Ing dan Loe Lan Hwa. Namun, pada tahun 1944, terjadi kerusuhan akibat kekalahan tentara Jepang yang membuat situasi tidak aman. Akibatnya, Loe Lan Hwa dan suaminya memutuskan pindah ke Semarang untuk mencari perlindungan serta meneruskan usaha wingko.

Di Semarang, mereka mulai menjajakan wingko dengan cara berkeliling dan menitipkannya ke kios-kios di stasiun dan terminal. Merek dagang mereka tetap menggunakan nama Babat sebagai bentuk penghormatan terhadap kampung halaman. Sejak saat itu, kue wingko Babat dengan cap Spoor semakin populer dan disukai oleh masyarakat Semarang.

Kini, usaha wingko Babat telah dikelola oleh generasi keempat. Gerai milik Loe Lang Ing di Babat telah berkembang menjadi toko jajanan modern. Bahkan, di depan gerai tersebut terdapat sebuah prasasti bernama ‘Puisi Wingko’ yang menjadi simbol sejarahnya. Hingga kini, wingko tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Babat, yang meskipun kecil, mampu mempertahankan identitasnya dalam dunia kuliner.

Bika Ambon Terbaik di Kota: Ini Perbandingan Tekstur dan Rasanya

Bika Ambon, kue tradisional asal Medan, Sumatera Utara, belakangan ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Dikenal dengan tekstur kenyal, aroma jeruk purut yang khas, dan warnanya yang kuning cerah, Bika Ambon telah menjelma menjadi salah satu makanan yang banyak dicari. Tidak hanya populer di Medan, kini kue ini pun banyak dijual di berbagai kota besar Indonesia. Namun, tahukah Anda bahwa ada perbedaan mencolok antara beberapa merek Bika Ambon yang sudah legendaris? Kali ini, kita akan membahas perbedaan yang mencolok antara Bika Ambon dari tiga merek ternama, yaitu Holland Bakery, Suisse Bakery, dan Befond.

Meskipun ketiganya tampak mirip, ada sejumlah perbedaan mencolok mulai dari penampilan fisik, aroma, tekstur, hingga rasa yang perlu Anda ketahui. Setiap merek Bika Ambon ini memiliki ciri khas yang membedakan satu sama lain, membuat setiap gigitan menghadirkan pengalaman yang berbeda. Mari kita mulai dengan membandingkan tampilan fisik dan harga dari ketiganya.

Penampilan Fisik dan Harga Bika Ambon dari Holland Bakery hadir dengan ukuran 20×20 cm, dibanderol seharga Rp 137.500. Ketika dibuka, permukaannya terlihat berwarna kuning terang dan cukup berminyak. Bika Ambon ini terlihat mengilap di bagian atasnya, namun terasa berminyak ketika dipegang. Sementara itu, Bika Ambon dari Suisse Bakery hadir dengan ukuran lebih kecil, berdiameter 18 cm, dan dijual seharga Rp 140.000. Warna kue ini juga kuning cerah, dengan sedikit bercak cokelat di bagian atasnya. Kelebihan dari Bika Ambon ini adalah tidak terasa berminyak saat dipegang. Sedangkan Befond, yang dijual dengan harga Rp 125.000 untuk ukuran 20×20 cm, memiliki tampilan yang lebih sederhana. Permukaannya tidak terlalu mengilap dan tidak terasa berminyak sama sekali.

Aroma yang Membuat Ketagihan Setiap merek Bika Ambon ini juga memiliki aroma yang berbeda. Holland Bakery menawarkan aroma yang sangat khas, dengan perpaduan bau telur dan mentega yang dominan. Ketika membuka kemasannya, Anda akan segera mencium aroma yang cukup kuat dan menggoda. Suisse Bakery, di sisi lain, memiliki aroma yang lebih segar dengan wangi jeruk purut yang lembut, ditambah sedikit aroma daun pandan dan kelapa panggang. Sementara itu, Befond memiliki aroma yang lebih ringan, didominasi oleh santan yang kuat dengan sedikit sentuhan jeruk purut. Setiap aroma ini memberi kesan yang berbeda bagi penikmatnya.

Tekstur yang Berbeda di Setiap Gigitannya Ketika membandingkan tekstur ketiganya, Holland Bakery memiliki Bika Ambon dengan tekstur yang cukup kenyal. Saat ditekan, kue ini kembali ke bentuk semula dengan perlahan, memberikan sensasi yang lembut namun padat. Suisse Bakery memiliki tekstur yang lebih padat dan terasa sedikit lebih keras. Ketika dipencet, Bika Ambon ini cepat kembali ke bentuk awalnya. Di sisi lain, Befond menawarkan tekstur yang paling kenyal. Kue ini terasa sangat lembut, dan meskipun teksturnya kenyal, ia tidak keras dan kembali ke bentuk semula dengan lembut.

Rasa yang Berbeda-beda Tentu saja, rasa adalah elemen penting yang membedakan ketiga Bika Ambon legendaris ini. Holland Bakery memiliki rasa yang didominasi oleh campuran telur dan mentega. Rasa manisnya terasa pas, tidak terlalu kuat, sehingga cocok bagi mereka yang menginginkan kue manis dengan rasa yang tidak terlalu mencolok. Suisse Bakery memiliki rasa yang lebih kompleks, dengan perpaduan santan dan jeruk purut yang lembut. Rasa manisnya meningkat perlahan, memberi sensasi yang halus pada lidah. Berbeda dengan itu, Befond memiliki Bika Ambon dengan rasa manis yang paling rendah. Santan menjadi rasa dominan, dengan sedikit sentuhan jeruk purut yang memberi sensasi segar.

Bika Ambon dari ketiga tempat ini menawarkan pengalaman yang unik, baik dari segi penampilan, aroma, tekstur, maupun rasa. Masing-masing merek memiliki keistimewaan yang patut dicoba. Bagi Anda yang ingin mencicipi Bika Ambon dengan rasa telur mentega yang klasik, Holland Bakery bisa menjadi pilihan. Jika Anda menginginkan rasa yang lebih segar dengan sentuhan jeruk purut, Suisse Bakery adalah pilihan yang tepat. Namun, bagi Anda yang ingin menikmati Bika Ambon dengan rasa santan yang lembut, Befond bisa jadi pilihan yang memuaskan.

Jadi, Bika Ambon mana yang menjadi favorit Anda? Temukan rasa yang paling sesuai dengan selera Anda dan nikmati kelezatannya!

Bubur Suro: Tradisi Ramadan di Palembang yang Sarat Makna

Di bulan Ramadan 1446 Hijriah, umat Islam di berbagai daerah memeriahkan bulan suci ini dengan tradisi khas masing-masing. Salah satu tradisi yang tetap lestari adalah pembagian Bubur Suro di Kota Palembang. Tidak sekadar menjadi hidangan berbuka puasa, Bubur Suro memiliki makna mendalam tentang kebersamaan dan semangat berbagi yang telah diwariskan turun-temurun. Tradisi ini berawal dari Masjid Al-Mahmudiyah, atau yang lebih dikenal dengan Masjid Suro, yang terletak di kawasan 30 Ilir, Palembang. Konon, kebiasaan ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam dan terus dilestarikan hingga saat ini.

Setiap hari selama Ramadan, setelah salat Ashar, Bubur Suro dibagikan kepada masyarakat sekitar. Proses pembuatannya melibatkan pengurus masjid serta warga yang bergotong-royong memasak dan mendistribusikan bubur kepada masyarakat. Salah satu pengurus Masjid Suro, Akbar, mengungkapkan bahwa setiap harinya sekitar 70 porsi Bubur Suro disiapkan untuk dibagikan kepada masyarakat. Ia menekankan bahwa tradisi ini bukan sekadar membagikan makanan, tetapi juga merupakan bentuk rasa syukur dan kepedulian terhadap sesama.

Tak hanya dinikmati oleh warga setempat, Bubur Suro juga menarik perhatian masyarakat dari luar daerah yang sengaja datang untuk mencicipi hidangan khas ini. Beberapa di antaranya bahkan membawa bubur ini pulang sebagai oleh-oleh. Akbar menambahkan bahwa kehadiran masyarakat dari berbagai daerah semakin memperkuat nilai kebersamaan dan keberagaman dalam tradisi ini. Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, Bubur Suro menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan di Palembang.