Gudeg, Warisan Rasa dari Hutan ke Meja Makan Yogyakarta

Gudeg adalah salah satu kuliner legendaris yang tak bisa dilepaskan dari budaya Yogyakarta. Hidangan bercita rasa manis dengan warna cokelat pekat ini telah menjadi identitas kuliner daerah, dikenal karena kekhasannya dalam pengolahan dan rasa. Dibuat dari nangka muda yang direbus dalam santan bersama aneka rempah seperti daun salam, lengkuas, dan gula jawa, gudeg menawarkan kelezatan yang kaya aroma dan tahan lama. Proses memasaknya yang memakan waktu lama menjadi kunci dalam menciptakan rasa lembut dan mendalam yang khas.

Menelusuri asal-usul gudeg membawa kita pada cerita masa lampau, tepatnya di era berdirinya Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16. Saat itu, para prajurit yang membuka wilayah baru di hutan Yogyakarta menghadapi keterbatasan bahan makanan. Di tengah keterbatasan itu, mereka menemukan kelimpahan buah nangka muda dan kelapa. Karena nangka muda tidak bisa dikonsumsi mentah, mereka pun mengolahnya dengan merebus dalam santan di kuali besar, diaduk perlahan dengan kayu. Kegiatan mengaduk tersebut dalam bahasa Jawa dikenal sebagai “hangudêk”. Dari sinilah kata “gudeg” dipercaya berasal, menjadi nama hidangan yang kini melegenda.

Dengan sejarah yang kaya dan proses pembuatan yang istimewa, gudeg bukan sekadar makanan, melainkan simbol perjalanan budaya dan kearifan lokal. Sajian ini menjadi bukti bahwa kuliner dapat menyimpan nilai historis yang mengakar dalam identitas suatu daerah, khususnya Yogyakarta.

Papeda: Makanan Tradisional dari Maluku dan Papua yang Penuh Makna

Papeda, hidangan khas yang berasal dari daerah Papua dan Maluku, memiliki sejarah yang mendalam dalam tradisi kuliner masyarakat setempat. Terbuat dari sagu, papeda menjadi simbol penting dari kehidupan sehari-hari warga yang bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sagu, yang menjadi bahan utama dalam pembuatan papeda, telah lama digunakan sebagai sumber karbohidrat utama, terutama di daerah pesisir dan dataran rendah Papua. Hidangan ini tidak hanya menggambarkan kekayaan rasa, tetapi juga nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Papeda memiliki tekstur yang kental dan lengket, berbeda dengan olahan sagu lainnya yang lebih dikenal seperti sagu bakar atau sagu lempeng. Meski tidak ditemukan di seluruh wilayah Papua, papeda memiliki tempat khusus di kalangan masyarakat adat, terutama di sekitar Danau Sentani, kawasan Taikat di Arso, dan Manokwari. Di daerah-daerah ini, papeda bukan hanya sebuah makanan, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari upacara adat dan kehidupan sosial mereka.

Sebagai hidangan yang sarat makna, papeda umumnya disajikan bersama lauk-pauk khas, seperti ikan kuah kuning atau ikan bakar, yang menambah kenikmatannya. Makanan ini menjadi simbol dari keberagaman kuliner Papua yang kaya akan tradisi dan budaya. Meski tidak sepopuler hidangan sagu lainnya, papeda tetap memiliki peranan penting dalam memperkaya warisan kuliner Indonesia, dan patut dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya yang perlu dijaga.

Jejak Rasa Martabak: Dari Timur Tengah ke Lidah Nusantara

Martabak merupakan salah satu kuliner jalanan yang sangat populer di Indonesia dan terdiri dari dua jenis utama, yaitu martabak manis dan martabak telur. Meski telah menjadi bagian dari budaya kuliner Indonesia, tidak banyak yang tahu bahwa martabak sejatinya bukan makanan asli Tanah Air. Kata “martabak” berasal dari bahasa Arab, “murtabak,” yang berarti dilipat. Istilah ini mencerminkan teknik memasak martabak, yang memang dibuat dengan cara melipat adonan yang telah diisi dengan berbagai bahan.

Awal mula masuknya martabak ke Indonesia berasal dari pengaruh budaya Arab dan India yang dibawa oleh para pedagang Muslim. Seiring waktu, martabak mengalami proses akulturasi dan beradaptasi dengan cita rasa lokal, hingga menjadi makanan yang disukai berbagai kalangan masyarakat. Martabak manis, atau sering disebut juga “terang bulan,” memiliki tekstur lembut dengan pori-pori besar, terbuat dari campuran tepung, ragi, dan gula, lalu dipanggang di atas loyang bundar. Awalnya hanya diisi kacang tanah, keju, dan meses cokelat, kini topping-nya lebih bervariasi, dari Nutella hingga biskuit Oreo.

Sementara itu, martabak telur menawarkan rasa gurih dengan kulit tipis dan renyah, berisi campuran telur, daging cincang, daun bawang, dan bawang bombay, serta disajikan bersama acar dan cabai rawit. Ada pula varian martabak India atau martabak Mesir, yang hadir dengan rempah khas dan sering disantap bersama kuah kari. Dengan variasi isian dan topping yang beragam, martabak mencerminkan kekayaan budaya kuliner Indonesia dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan cita rasa lokal.

Tempe Menuju UNESCO: Jejak Budaya Nusantara yang Mendunia

Kementerian Kebudayaan resmi mengajukan tempe ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan, menandai langkah penting dalam pelestarian budaya kuliner Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa pengajuan ini tidak semata mengejar pengakuan global, tetapi bertujuan melestarikan nilai-nilai tradisional yang telah diwariskan turun-temurun. Dalam sejarahnya, tempe telah muncul dalam Serat Centhini, naskah sastra Jawa abad ke-19 yang menggambarkan kehidupan abad ke-16, menandakan peran tempe sebagai bagian dari identitas budaya sejak lama. Tempe tak hanya menjadi makanan sehari-hari masyarakat, tapi juga mewakili pengetahuan dan teknologi pangan lokal yang terus berkembang.

Selain tempe, pemerintah juga mengusulkan Teater Mak Yong sebagai ekstensi dari warisan budaya Mak Yong milik Malaysia, serta seni tradisional Jaranan yang diajukan bersama Suriname. Teater Mak Yong, yang telah diakui UNESCO sejak 2008 melalui Malaysia, kini diperluas pengakuannya untuk mencerminkan penyebarannya ke wilayah Indonesia, khususnya Kepulauan Riau. Fadli Zon menegaskan pentingnya kolaborasi lintas negara dalam melindungi seni tradisional dan membangun apresiasi budaya bersama.

Proses pengajuan ke UNESCO dilakukan secara menyeluruh, melibatkan kajian akademik, dokumentasi, dan kerja sama lintas komunitas. Dokumen nominasi telah diserahkan ke Sekretariat UNESCO di Paris sebelum batas akhir 31 Maret 2025. Pemerintah Indonesia juga membuka peluang kerja sama budaya lainnya, termasuk potensi nominasi bersama aksara tradisional dengan negara-negara bersejarah seperti Suriname.

Ayam Taliwang: Warisan Kuliner Lombok dari Diplomasi Kerajaan

Ayam Taliwang, hidangan khas Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki sejarah panjang yang berakar pada peristiwa antara Kerajaan Selaparang dan Kerajaan Karangasem. Pada tahun 1630, pasukan dari Kerajaan Taliwang dikirim ke Lombok untuk membantu Selaparang dalam konflik melawan Karangasem. Para prajurit ini membawa serta juru masak mereka, yang bertugas menyiapkan makanan bagi para pemimpin perang. Mereka kemudian menetap di daerah yang kini dikenal sebagai Karang Taliwang. Demi menciptakan perdamaian, juru masak tersebut menyajikan ayam bakar berbumbu khas kepada Raja Karangasem. Hidangan ini menjadi simbol diplomasi yang membantu meredakan ketegangan antara kedua kerajaan.

Dikutip dari THE SAGES JOURNAL: Culinary Science and Business (2023), ayam taliwang memiliki ciri khas berupa ayam kampung muda yang dibakar utuh dengan bumbu pedas kaya rempah. Proses memasaknya menggunakan cabai merah kering, bawang merah, bawang putih, tomat, terasi goreng, serta kencur, menghasilkan cita rasa pedas autentik. Biasanya, ayam taliwang disajikan dengan nasi putih hangat dan plecing kangkung, menciptakan kombinasi rasa pedas, gurih, dan segar.

Hidangan ini mulai dikenal luas di Lombok pada tahun 1960-an, salah satunya berkat Nini Manawiyah, yang menjual nasi ayam di rumahnya di Karang Taliwang. Popularitasnya terus meningkat hingga tahun 1980-an, ketika banyak restoran mulai memasukkan ayam taliwang ke dalam menu mereka. Kini, hidangan ini tidak hanya menjadi ikon kuliner Lombok, tetapi juga dikenal luas di berbagai kota besar Indonesia. Sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat Sasak, ayam taliwang terus dijaga keberadaannya dan tetap menjadi kebanggaan kuliner Nusantara.

Nasi Ulam: Warisan Kuliner dengan Cita Rasa dan Sejarah Panjang

Nasi ulam adalah salah satu hidangan khas yang mencerminkan kekayaan budaya kuliner Nusantara. Hidangan ini memiliki sejarah panjang yang berasal dari tradisi kuliner Melayu dan Tionghoa peranakan, serta berkembang di berbagai wilayah seperti Indonesia dan Malaysia. Berbeda dengan nasi uduk yang dimasak dengan santan, nasi ulam diolah dengan campuran rempah seperti serai, lengkuas, jahe, dan daun salam untuk menghasilkan aroma harum serta rasa gurih yang khas. Hidangan ini dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan lama di Sumatera dan Semenanjung Malaya, di mana masyarakatnya memanfaatkan rempah dan dedaunan segar untuk meningkatkan cita rasa serta manfaat kesehatan dalam makanan sehari-hari.

Di Indonesia, nasi ulam berkembang di berbagai daerah, terutama dalam kuliner suku Betawi dan Melayu Sumatera, bahkan juga ditemukan di Bali. Nasi ulam Betawi memiliki dua jenis varian, yakni nasi ulam berkuah yang umum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, serta nasi ulam kering yang lebih sering ditemukan di Jakarta Selatan. Nasi ulam berkuah biasanya disajikan dengan siraman kuah semur tahu atau kentang, sementara versi keringnya tetap memiliki rasa gurih tanpa tambahan kuah. Kedua varian ini sama-sama disajikan dengan berbagai pelengkap seperti bubuk kacang tanah, bihun, serundeng, kemangi, emping, serta lauk seperti telur, tahu, tempe, dan perkedel.

Keberadaan nasi ulam hingga saat ini membuktikan bahwa kuliner tradisional mampu bertahan dan berkembang seiring waktu. Hidangan ini bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol perpaduan budaya serta kearifan lokal dalam mengolah bahan-bahan alami yang tersedia. Dengan cita rasa yang khas dan sejarah yang kaya, nasi ulam terus menjadi bagian penting dari warisan kuliner Nusantara yang patut dilestarikan.

Bubur Suro: Tradisi Ramadan di Palembang yang Sarat Makna

Di bulan Ramadan 1446 Hijriah, umat Islam di berbagai daerah memeriahkan bulan suci ini dengan tradisi khas masing-masing. Salah satu tradisi yang tetap lestari adalah pembagian Bubur Suro di Kota Palembang. Tidak sekadar menjadi hidangan berbuka puasa, Bubur Suro memiliki makna mendalam tentang kebersamaan dan semangat berbagi yang telah diwariskan turun-temurun. Tradisi ini berawal dari Masjid Al-Mahmudiyah, atau yang lebih dikenal dengan Masjid Suro, yang terletak di kawasan 30 Ilir, Palembang. Konon, kebiasaan ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam dan terus dilestarikan hingga saat ini.

Setiap hari selama Ramadan, setelah salat Ashar, Bubur Suro dibagikan kepada masyarakat sekitar. Proses pembuatannya melibatkan pengurus masjid serta warga yang bergotong-royong memasak dan mendistribusikan bubur kepada masyarakat. Salah satu pengurus Masjid Suro, Akbar, mengungkapkan bahwa setiap harinya sekitar 70 porsi Bubur Suro disiapkan untuk dibagikan kepada masyarakat. Ia menekankan bahwa tradisi ini bukan sekadar membagikan makanan, tetapi juga merupakan bentuk rasa syukur dan kepedulian terhadap sesama.

Tak hanya dinikmati oleh warga setempat, Bubur Suro juga menarik perhatian masyarakat dari luar daerah yang sengaja datang untuk mencicipi hidangan khas ini. Beberapa di antaranya bahkan membawa bubur ini pulang sebagai oleh-oleh. Akbar menambahkan bahwa kehadiran masyarakat dari berbagai daerah semakin memperkuat nilai kebersamaan dan keberagaman dalam tradisi ini. Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, Bubur Suro menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan di Palembang.

Kopi Godog Khas Ciamis Resmi Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Kopi Godog, minuman khas dari Kabupaten Ciamis, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penetapan ini diumumkan bersamaan dengan pengakuan terhadap Peuyeum Koroto, kuliner tradisional lainnya dari daerah yang sama. Ini menunjukkan upaya pemerintah untuk melestarikan dan menghargai kekayaan budaya lokal yang ada di Indonesia.

Penetapan Kopi Godog dan Peuyeum Koroto sebagai WBTB merupakan hasil dari serangkaian proses yang melibatkan pengusulan karya budaya oleh dinas-dinas terkait di 23 kabupaten/kota di Jawa Barat. Proses ini mencakup pengkajian oleh tim ahli dan sidang penetapan yang dilakukan pada bulan Desember 2024. Ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak dalam upaya pelestarian budaya.

Kopi Godog bukan hanya sekadar minuman, tetapi juga memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Ciamis. Proses pembuatannya yang unik, menggunakan teknik tradisional dengan bahan-bahan alami, menjadikan kopi ini istimewa. Selain itu, kebiasaan menikmati Kopi Godog sering kali menjadi momen berkumpulnya keluarga dan teman-teman, memperkuat ikatan sosial di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa makanan dan minuman dapat menjadi simbol budaya yang menghubungkan orang-orang.

Dengan status WBTB, diharapkan Kopi Godog dapat menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung ke Ciamis dan menikmati keunikan kuliner lokal. Hal ini bisa berdampak positif pada perekonomian daerah melalui peningkatan sektor pariwisata dan promosi produk lokal. Ini mencerminkan bagaimana pengakuan budaya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi daerah.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Benny Bachtiar, menyatakan harapannya agar penetapan ini dapat memotivasi masyarakat untuk lebih mengenal dan melestarikan warisan budaya mereka. “Warisan budaya adalah bagian tak terpisahkan dari identitas kita,” ujarnya. Ini menunjukkan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga dan merayakan budaya lokal.

Dengan penetapan Kopi Godog sebagai Warisan Budaya Tak Benda, semua pihak kini diajak untuk lebih menghargai kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Langkah ini tidak hanya memberikan pengakuan terhadap tradisi lokal tetapi juga mendorong generasi muda untuk terus melestarikan warisan nenek moyang mereka. Ini menjadi momen penting bagi masyarakat untuk bersatu dalam menjaga identitas budaya bangsa.