Gudeg, Warisan Rasa dari Hutan ke Meja Makan Yogyakarta

Gudeg adalah salah satu kuliner legendaris yang tak bisa dilepaskan dari budaya Yogyakarta. Hidangan bercita rasa manis dengan warna cokelat pekat ini telah menjadi identitas kuliner daerah, dikenal karena kekhasannya dalam pengolahan dan rasa. Dibuat dari nangka muda yang direbus dalam santan bersama aneka rempah seperti daun salam, lengkuas, dan gula jawa, gudeg menawarkan kelezatan yang kaya aroma dan tahan lama. Proses memasaknya yang memakan waktu lama menjadi kunci dalam menciptakan rasa lembut dan mendalam yang khas.

Menelusuri asal-usul gudeg membawa kita pada cerita masa lampau, tepatnya di era berdirinya Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-16. Saat itu, para prajurit yang membuka wilayah baru di hutan Yogyakarta menghadapi keterbatasan bahan makanan. Di tengah keterbatasan itu, mereka menemukan kelimpahan buah nangka muda dan kelapa. Karena nangka muda tidak bisa dikonsumsi mentah, mereka pun mengolahnya dengan merebus dalam santan di kuali besar, diaduk perlahan dengan kayu. Kegiatan mengaduk tersebut dalam bahasa Jawa dikenal sebagai “hangudêk”. Dari sinilah kata “gudeg” dipercaya berasal, menjadi nama hidangan yang kini melegenda.

Dengan sejarah yang kaya dan proses pembuatan yang istimewa, gudeg bukan sekadar makanan, melainkan simbol perjalanan budaya dan kearifan lokal. Sajian ini menjadi bukti bahwa kuliner dapat menyimpan nilai historis yang mengakar dalam identitas suatu daerah, khususnya Yogyakarta.

Wingko Babat: Kue Tradisional yang Melegenda dari Lamongan

Wingko Babat merupakan kue tradisional berbentuk bundar yang terbuat dari tepung beras ketan, kelapa, dan gula. Banyak yang mengira kudapan ini berasal dari Semarang, namun sebenarnya asal-usulnya dari Babat, sebuah kota kecil di Lamongan, Jawa Timur. Kota ini menjadi titik persimpangan antara Kabupaten Bojonegoro, Jombang, dan Tuban, yang membuatnya strategis bagi para pedagang.

Wingko Babat pertama kali diciptakan oleh pasangan perantau keturunan Tionghoa, Loe Soe Siang dan istrinya, yang telah bermukim di Babat sejak tahun 1898. Pasangan ini memiliki dua anak, yaitu Loe Lang Ing dan Loe Lan Hwa. Namun, pada tahun 1944, terjadi kerusuhan akibat kekalahan tentara Jepang yang membuat situasi tidak aman. Akibatnya, Loe Lan Hwa dan suaminya memutuskan pindah ke Semarang untuk mencari perlindungan serta meneruskan usaha wingko.

Di Semarang, mereka mulai menjajakan wingko dengan cara berkeliling dan menitipkannya ke kios-kios di stasiun dan terminal. Merek dagang mereka tetap menggunakan nama Babat sebagai bentuk penghormatan terhadap kampung halaman. Sejak saat itu, kue wingko Babat dengan cap Spoor semakin populer dan disukai oleh masyarakat Semarang.

Kini, usaha wingko Babat telah dikelola oleh generasi keempat. Gerai milik Loe Lang Ing di Babat telah berkembang menjadi toko jajanan modern. Bahkan, di depan gerai tersebut terdapat sebuah prasasti bernama ‘Puisi Wingko’ yang menjadi simbol sejarahnya. Hingga kini, wingko tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Babat, yang meskipun kecil, mampu mempertahankan identitasnya dalam dunia kuliner.