Beijing – Di tengah kondisi ekonomi yang berfluktuasi, sejumlah restoran di China mulai menerapkan strategi banting harga untuk menarik lebih banyak pelanggan. Fenomena ini menarik perhatian banyak orang dan memicu diskusi mengenai dampaknya terhadap industri kuliner.
Restoran-restoran ini mengklaim bahwa penurunan harga merupakan respons terhadap penurunan daya beli masyarakat dan berkurangnya pengunjung pasca-pandemi. Banyak tempat makan yang mengalami penurunan omzet, sehingga mereka harus mencari cara untuk bertahan di pasar yang semakin kompetitif. Diskon dan promo menarik menjadi solusi yang diambil.
Beberapa restoran bahkan menawarkan menu dengan harga serendah 10 yuan (sekitar Rp 20.000) untuk menarik perhatian pelanggan. Taktik ini tidak hanya meningkatkan jumlah pengunjung tetapi juga memperluas pangsa pasar. Restoran-restoran ini mengandalkan pemasaran digital untuk mempromosikan penawaran menarik mereka melalui media sosial.
Namun, strategi banting harga ini juga menuai kritik. Beberapa konsumen melaporkan bahwa kualitas makanan dan pelayanan mengalami penurunan. Mereka khawatir bahwa dalam upaya menekan biaya, restoran akan mengorbankan kualitas bahan makanan dan layanan yang diberikan kepada pelanggan.
Asosiasi Restoran China menanggapi fenomena ini dengan hati-hati. Mereka mengingatkan anggota untuk tetap menjaga standar kualitas dan tidak terjebak dalam perang harga yang dapat merugikan seluruh industri. “Keseimbangan antara harga dan kualitas sangat penting untuk keberlanjutan usaha,” kata seorang juru bicara.
Dengan banyaknya restoran yang banting harga, fenomena ini mencerminkan tantangan yang dihadapi industri kuliner di China. Meskipun strategi ini bisa mendatangkan pelanggan, penting bagi pemilik restoran untuk tidak melupakan kualitas yang menjadi faktor kunci dalam mempertahankan loyalitas pelanggan.