https://shotbysaini.com

Bakso Solo Kidul Pasar: Legenda Kuliner Malang yang Bertahan Tiga Generasi

Kota Malang dikenal sebagai surga bagi pecinta bakso. Salah satu kuliner legendaris yang telah menjadi bagian dari sejarah kota ini adalah Bakso Solo Kidul Pasar, yang berdiri sejak tahun 1965. Warung bakso ini terkenal dengan cita rasa khasnya yang berasal dari kuah kaya rempah, meski pilihan isiannya lebih sederhana dibandingkan bakso Malang pada umumnya. Nama Bakso Solo Kidul Pasar sendiri diambil dari kisah pendirinya, almarhum Suparno, yang berasal dari Solo.

Awalnya, Suparno sempat berjualan bakso di Jember selama lima tahun, namun usahanya terhenti. Tak menyerah, ia memulai kembali bisnis baksonya di Malang, tepatnya di selatan Pasar Besar Malang—lokasi yang kemudian menginspirasi nama “Kidul Pasar.”

“Dulu, kakek memulai usaha ini dengan gerobak di pinggir jalan,” ujar Seto Sindu Mardi, cucu Suparno yang kini menjadi generasi ketiga penerus usaha keluarga tersebut. Seiring waktu, bisnis bakso ini terus berkembang. Pada tahun 1990, warung utama pindah ke Jalan Sartono SH, daerah Comboran, yang kini menjadi pusat utama usaha. Cabang lainnya kemudian dibuka di Jagalan, Jalan Halmahera (1996), Blimbing (1997), dan Karangploso (2015), yang dikelola oleh paman Sindu.

Di usia 25 tahun, Sindu mulai diberikan tanggung jawab untuk melanjutkan bisnis keluarga ini. Meski baru terlibat sekitar 30 persen dalam pengelolaan—terutama di bidang pemasaran dan penyelenggaraan acara—ia terus belajar untuk mempersiapkan diri. Sementara itu, operasional harian masih dikelola oleh ayahnya, Mardi Pawirosemito.

Warisan Ilmu dan Tantangan Generasi Ketiga

Bagi Sindu, bisnis ini bukan sekadar mata pencaharian, melainkan warisan keluarga yang harus dijaga dan dilestarikan. Di tengah keluarganya yang banyak berkarier sebagai dokter dan pegawai, ia memilih untuk meneruskan usaha bakso yang dirintis kakeknya.

“Kalau kakek dulu memulai dari nol, masa cucunya tidak mau melanjutkan? Saya pribadi tidak terpikir untuk menekuni bidang lain. Fokus saya tetap di bisnis ini,” ungkapnya. Sejak kecil, Sindu sudah akrab dengan suasana warung, termasuk membantu orang tuanya berbelanja ke pasar.

Ia menyadari bahwa generasi ketiga memiliki tantangan tersendiri dalam mempertahankan bisnis keluarga. “Generasi ketiga itu yang paling rentan. Risiko kegagalan tinggi, tapi kalau punya strategi dan komitmen, bisnis bisa terus bertahan,” jelasnya. Saat ini, Sindu tengah menyelesaikan studi S2 di Universitas Brawijaya Malang sambil tetap mempelajari seluk-beluk bisnis keluarga.

Setiap hari, Bakso Solo Kidul Pasar menghabiskan sekitar 80 kilogram daging sapi, di mana setiap kilogramnya dapat menghasilkan sekitar 80 butir bakso—tergantung kualitas daging yang digunakan. Untuk memenuhi selera pelanggan, warung ini terus berinovasi. Salah satu contohnya adalah penambahan menu pangsit goreng pada tahun 2006, yang awalnya dibuat untuk konsumsi pribadi, tetapi justru diminati pelanggan hingga kini.

“Mempertahankan bisnis bukan hanya soal menjaga resep turun-temurun, tetapi juga memahami ritme usaha, mulai dari produksi hingga pelayanan. Ada tradisi lama yang harus dipertahankan, tetapi kami juga perlu beradaptasi dengan cara baru agar tetap relevan,” kata Sindu.

Salah satu strategi yang diterapkan adalah mempelajari pola konsumsi pelanggan. Sebagai contoh, produksi bakso dikurangi pada hari Senin karena jumlah pelanggan biasanya lebih sedikit, sedangkan pada akhir pekan, produksinya ditingkatkan. Selain itu, faktor musim hujan dan masa liburan juga memengaruhi jumlah produksi.

Inovasi Digital dan Ekspansi ke Pasar Global

Untuk menjawab kebutuhan pelanggan di era digital, Bakso Solo Kidul Pasar mulai memanfaatkan platform online tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional bisnis keluarga. Sejak tahun 2023, mereka mulai memasarkan produk frozen yang dapat dikirim ke berbagai kota di Indonesia, bahkan hingga ke Italia dan Hong Kong.

“Awalnya, ada pelanggan dari luar kota yang ingin menikmati bakso kami. Papa sempat bertanya, ‘Le, ada yang pesan frozen, gimana?’ Akhirnya, kami coba jalankan, meski awalnya banyak tantangan,” ujar Sindu.

Selain layanan frozen, promosi bisnis ini kini memanfaatkan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan website resmi. Namun, Sindu tetap mempertahankan metode promosi klasik, seperti dari mulut ke mulut, yang selama ini terbukti efektif. “Kami tidak menggunakan gimmick berlebihan. Prinsip kami adalah pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan,” jelasnya.

Meski banyak bisnis kuliner yang berkembang melalui sistem franchise, Bakso Solo Kidul Pasar memutuskan untuk tetap dikelola oleh keluarga. Pesan sang kakek agar tidak melibatkan pihak luar dalam pengelolaan usaha ini menjadi prinsip yang terus dijaga. “Papa sangat idealis, dan saya juga. Kami lebih memilih menjaga kualitas dan cita rasa daripada membuka cabang sembarangan. Kalau ada rezeki untuk buka cabang baru, kami akan melakukannya dengan cara yang benar,” tegas Sindu.

Meski kini tersedia layanan pembelian online, sebagian besar pelanggan tetap memilih datang langsung ke warung untuk merasakan cita rasa bakso yang autentik sambil menikmati suasana khasnya. “Banyak pelanggan luar kota yang datang ke sini setelah melihat rekomendasi di media sosial. Setelah makan, mereka mengunggah pengalaman mereka, dan itu membantu promosi kami secara organik,” tutup Sindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *