Selama Perang Kemerdekaan, prajurit TNI sering kali mendapat jamuan makanan khas dari warga setempat. Namun, tak selalu beruntung, ada kalanya mereka kehabisan lauk atau kurang beruntung dalam pilihan santapan yang disediakan.
Pasukan Kompi III Batalion XV, dipimpin oleh Letnan Raja Sjahnan, mundur ke Kampung Tanjung usai bentrok dengan tentara Belanda di Kampung Seberaya, Tanah Karo. Pasukan tersebut berada di bawah komando Resimen I yang dipimpin oleh Mayor Djamin Gintings ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama pada Juli 1947.
“Malam itu, komando kami bersama satu seksi lainnya bermalam di Kampung Tanjung, sebuah desa di timur Kampung Bulan Jahe, untuk mendapatkan suasana lebih tenang, jauh dari lokasi pertempuran siang hari,” kenang Raja Sjahnan dalam catatan perjuangannya.
Pasukan ini sangat kelelahan, dan untungnya, masyarakat Kampung Tanjung menyambut mereka dengan makanan. Raja Sjahnan dan pasukannya diberi dua jenis lauk, yakni sayur jipang (labu siam) dan gulai daging khas Karo bernama terites. Meski terkejut dengan aroma khas dan tampilan hijau gulai tersebut, terites adalah sajian lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat setempat.
Terites, Kuliner Tradisional dengan Bahan Khusus
Terites atau dikenal sebagai soto Karo adalah makanan berkuah yang dibuat dengan kaldu dari rumput di lambung hewan pemamah biak, seperti sapi atau kerbau. Meski bagi yang tidak terbiasa tampak seperti kotoran, pakan rumput dalam terites ini masih utuh dan belum tercerna sepenuhnya.
Meski demikian, Raja Sjahnan dan prajuritnya tidak begitu antusias mencicipinya. Beruntung masih ada sayur jipang yang bisa mereka santap. Terites memerlukan waktu persiapan sekitar dua hingga tiga jam, sebuah kerja keras yang membuat para prajurit segan untuk menolak.
Selain terites, Raja Sjahnan diperkenalkan dengan bohan, olahan dari darah hewan yang dicampur rempah dan dimasak dalam bambu, menjadi santapan khas lain yang kaya rasa bagi masyarakat Karo.
Cipera, Sajian Karo yang Disajikan di Medan Perang
Suatu hari, Mayor Djamin Gintings mengajak Letnan Iwan Matsum untuk mencicipi cipera saat perjalanan ke Kampung Penampen, markas TNI dalam strategi melawan Belanda di Kutabuluh pada 1949. Cipera, sajian Karo berbahan dasar bubuk jagung muda yang melapisi daging ayam, dimasak bersama rempah seperti jamur merang, serai, cabai, dan asam cekala.
Setibanya di Penampen, mereka disuguhi cipera oleh warga setempat. Namun, Letnan Iwan harus puas menikmati hanya bumbunya saja, karena daging ayamnya sudah habis. Dengan bercanda, ia menyebutkan bahwa bahkan bata (batu bata) pun akan terasa enak jika disajikan seperti cipera.
Sebagai sajian khas, cipera biasanya dihidangkan dalam acara istimewa seperti pernikahan atau hajatan. Belakangan, makanan ini kembali dikenal setelah disajikan dalam kontes memasak nasional, di mana juri memberikan apresiasi tinggi atas cita rasa dan filosofi budaya yang terkandung di dalamnya.