Pada 24 November 2024, sebuah riset mengungkapkan bahwa kuliner berbahan daging anjing di Solo, Jawa Tengah, memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan budaya mabuk yang berkembang di masyarakat setempat. Daging anjing, yang sering dijadikan hidangan khas di beberapa warung makan, dulunya dianggap sebagai makanan yang memiliki khasiat tertentu, terutama untuk mereka yang bekerja keras atau bahkan dalam keadaan mabuk. Makanan ini dianggap bisa memberikan energi tambahan dan mengatasi rasa lelah, yang menjadikannya populer di kalangan pekerja keras dan orang-orang yang mencari pemulihan setelah pesta atau aktivitas berat.
Menurut penelitian, kuliner anjing di Solo berawal dari praktik masyarakat yang sering mengonsumsi makanan tersebut setelah malam yang panjang penuh alkohol. Pada masa lalu, daging anjing dianggap sebagai makanan yang dapat mengembalikan stamina dan memberikan rasa kenyang yang lebih lama, terutama untuk mereka yang mabuk. Berbagai jenis masakan anjing, seperti sate atau tongseng, menjadi pilihan populer di kalangan masyarakat lokal. Namun, seiring berkembangnya waktu, konsumsi daging anjing mulai menimbulkan kontroversi, baik dari segi etika maupun kesehatan.
Kini, konsumsi daging anjing di Solo mulai menjadi perdebatan. Banyak masyarakat yang mulai mempertanyakan kebiasaan ini karena faktor kesejahteraan hewan dan potensi risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan. Namun, ada juga kelompok yang berpendapat bahwa kuliner ini adalah bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan. Pemerintah setempat juga mulai mendorong perubahan dalam kebiasaan ini dengan menggencarkan kampanye tentang kesejahteraan hewan dan pentingnya konsumsi makanan yang lebih sehat.
Budaya mabuk yang terkait erat dengan tradisi kuliner ini menunjukkan bagaimana kebiasaan sosial dan kebutuhan praktis dalam masyarakat dapat memengaruhi pola konsumsi makanan. Konsumsi daging anjing pada masa lalu lebih banyak didorong oleh kebutuhan untuk meredakan efek mabuk, tetapi dengan meningkatnya kesadaran akan masalah kesehatan dan kesejahteraan hewan, kebiasaan ini perlahan mulai bergeser.
Sejarah kuliner anjing di Solo, yang tak lepas dari budaya mabuk, mencerminkan hubungan kompleks antara kebiasaan sosial, tradisi kuliner, dan perubahan persepsi masyarakat. Meskipun masih ada yang mempertahankan tradisi ini, semakin banyak yang mendukung pergeseran menuju konsumsi makanan yang lebih ramah terhadap hewan dan lebih sehat. Kuliner ini, meskipun kontroversial, tetap menjadi bagian dari sejarah kuliner Solo yang perlu dipahami dengan bijak.